Wacana PTKP - Persekongkolan di Balik Konflik Israel-Palestina

Palestina dan Israel telah lama menjadi perbincangan yang amat serius, lantaran adanya konflik berkepanjangan yang terjadi antara mereka. Palestina yang konon merupakan salah satu negara muslim, bahkan yang menjadi salah satu negara peradaban Islam dan menyimpan artefak Islam itu, harus berhadapan dengan penguasa dan para tentara Israel yang kejam. Hidupnya tak tenang, hari-harinya bagaikan berada di neraka. Hal itu terjadi karena adanya tindakan represif yang terus digencarkan tanpa pandang bulu.

Tak sedikit orang yang berpendapat mengenai ketegangan yang terjadi antara kedua negara tersebut. Tentu itu menjadi wajar, sebab memang dunia saat ini hanya dihebohkan oleh ulah dan perseteruan mereka. Seakan dunia ini tak punya masalah lain selain konflik Israel-Palestina.

Terlepas dari asumsi dan pendapat-pendapat yang hadir, lalu sebenarnya motif apa yang membaluti perseteruan antara Israel dan Palestina? Apakah konflik mereka murni karena soal keyakinan? Atau ada motif lain dibalik kekacauan itu? Tentu itu menjadi pertanyaan penting yang mesti dipecahkan secara saksama.

Secara kasat mata, kekejaman yang dilakukan oleh Israel memang sangat memilukan hati. Betapa tidak, serangan-serangan yang dilakukan memang sangat membombardir wilayah dan penduduk Palestina. Oleh sebab itu, salah satau asumsi yang paling nampak hari ini ialah, bahwa konflik keduanya adalah konflik Agama (Keyakinan). Sebab Israel adalah negara yang notabenenya non muslim atau Yahudi. Maka wajar jika ia melakukan penjajahan secara serius untuk mendeskreditkan kaum muslim.

Mengapa asumsi demikian hadir? Karena diskoneksi keyakinan antar keduanya mempertontonkan semacam drama superior yang berujung pada keinginan kaum Yahudi mendominasi kekuatan pada negara Muslim. Namun, jika memang seperti itu, mengapa konflik itu terjadi sampai hari ini? Padahal secara kasat mata, kapasitas dan kekuatan perang Israel tak lagi diragukan dibandingkan dengan perlawanan rakyat Palestina.

Jika Israel ingin melululantahkan dan menghabiskan kaum muslim di Palestina hanya karena persoalan mereka membenci Islam, gampang saja. Mereka cukup melakukan penyerangan yang lebih agresif agar kaum muslim di Palestina tak ada yang tersisa! Toh, falisitas perang mereka sangatlah lengkap dan kuat. Akan tetapi, hari ini kita melihat mereka masih membiarkan adanya kaum muslim yang hidup di Palestina meskipun hidup dalam kesengsaraan.

Maka dari itu, kita memerlukan kesadaran berpikir secara kritis untuk menelaah persoalan itu. Kita mesti berpikir dan menyadari, bahwa apakah dibalik konflik itu tidak ada kepentingan ekonomi dan politik global, barangkali ada yang mendesain dan bermain di balik layar sehingga terjadi konflik berkepanjangan. Jika memang konflik mereka karena persoalan agama, tentu itu sangat tidak masuk akal. Banyak kaum yahudi atau kaum non Islam di dunia, mengapa hanya Israel yang melakukan hal demikian? Mengapa semua kaum non Islam tidak melakukan penjajahan terhadap kaum Muslim seperti apa yang dilakukan Israel?

Artinya apa, kita mesti menarik sebuah kesimpulan, bahwa bukan agama yang menjadi sebab perseteruan itu. Oleh karena sebabnya bukanlah persoalan agama, maka agama pun tidak bisa diandalkan untuk menjadi solusi akan permasalahan tersebut. Mengapa agama tidak punya kapasitas soal itu? Karena agama hanyalah sebagai instrumen untuk mencapai predikat Saleh dan Saleha. Agama hanya membentuk rakyat Palestina yang determinis, yang hanya mengandalkan keyakinan dan kekuatan doa kepada Tuhannya. Jadi, jika agama yang diandalkan untuk menyelesaikan itu, tentu tidak akan pernah selesai!

Berangkat dari hal-hal sederhana itu, kita mesti menelaah bahwa konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina bukanlah konflik agama, melainkan karena adanya konspirasi atau kongkalikong yang dilakukan oleh para elit global, bisa saja konspirasi itu berupa kepentingan Politik dan Ekonomi. Meminjam sabda Adam Smith, dibalik semua itu ada tangan-tangan tersembunyi yang mengatur dan mengendalikannya.

Secara eksplisit, tidak akan ada konflik yang berkepanjangan jika tidak ada surplus perputaran ekonomi yang selalu dijaga dan digencarkan. Mengapa ekonomi berperan penting dalam agenda penjajahan dan penaklukan? Karena ekonomi yang menentukan sejauh mana suatu negara bisa melangkah dan selama apa ia bisa bernafas. Akan tetapi, walaupun demikian, ekonomi tak akan bisa berkutik jika tak ada sentuhan politik. Artinya apa, politik disepaketkan dengan ekonomi agar ia menjadi kekuatan ampuh untuk memperoleh kekuasaan, baik kekuasaan secara teritorial maupun kekuasaan pengendalian manusia.

Istilah Ekonomi politik diambil dari khazanah bahasa Yunani, polis yang berarti sebuah kota atau sebuah unit politik, dan oikonomike yang maknanya mengacu pada manajemen suatu rumah tangga. Kombinasi kedua kata itu menunjukkan betapa erat keterkaitan antara fakta-fakta produksi, keuangan dan perdagangan dengan kebijakan pemerintah di bidang moneter, fiskal dan komersial (Lane, 1994).

Tokoh-tokoh pemikir sosialisme modern seperti Karl Marx dan Engel telah lama menggeluti soal ekonomi-politik. Menurut mereka, ekonomi politik, merupakan cabang dari ilmu sosial yang kemudian berkembang menjadi ekonomi, menitikberatkan pada peningkatan pendapatan negara dan peningkatan sumber daya negara. Istilah ekonomi politik mulai digunakan secara umum pada abad kedelapan belas dan bermakna sebagai cara-cara yang digunakan pemerintah untuk mengatur perdagangan, pertukaran uang dan pajak (secara umum apa yang sekarang disebut kebijakan ekonomi).

Marx dan Engels percaya bahwa ekonomi politik muncul seiring dengan hadirnya kapitalisme. Karena itu, dalam konteks kapitalisme, politik dan ekonomi saling melengkapi. Suatu kebijakan ditentukan oleh kekuatan politik, dan tidak mungkin suatu kebijakan tidak menginginkan keuntungan ekonomi yang besar. Perihal konflik Israel dan Palestina, besar kemungkinan digerayangi oleh kekuatan ‘Kapitalisme’. Sederhananya, bagi Marx kapitalisme adalah serangkaian sistem ekonomi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pemegang modal untuk memperoleh keuntungan sebasar-besarnya yang dapat digunakan untuk melancarkan agenda-agenda kekuasaan, seperti yang terjadi antara Israel dan Palestina.

Dalam konteks kapitalisme, pada kelas atas terdapat dua kekuatan besar; Penguasa sebagai penentu kebijakan dan pemegang modal sebagai pemilik dan pengendali sarana produksi. Kebijakan yang ditentukan oleh penguasa selalu mendukung para investor dan petinggi-petinggi perusahaan selaku pemegang modal. Secara politik ekonomi global, kelas atas tentu berkaitan dengan negara yang memiliki kekuatan dagang. Salah satu negara yang selalu membangun hubungan diplomatik perdagangan adalah Turki. Lalu apa kaitan antara kekuatan dagang Turki dengan Israel? Tentu sangat berhubungan! Sebab keduanya memiliki hubungan dagang yang sangat erat.

Hubungan Turki dan Israel berawal pada Maret 1949 ketika Turki menjadi negara mayoritas Muslim pertama yang mengakui keberadaan Israel. Sejak saat itu, Turki mulai membangun hubungan diplomatik dengan Israel hingga sata ini. Kedua negara sudah lama menempatkan kedutaan besarnya masing-masing sebagai realisasi hubungan diplomatik, jauh sebelum negara-negara Arab menormalisasi hubungannya dengan Tel Aviv.

Dilansir dari laman resmi Kementerian Perdagangan Turki pada Sabtu (15/5/2021), hubungan harmonis perdagangan antara Republik Turki dan Israel sudah terjalin selama puluhan tahun, dan kecenderungannya terus mengalami peningkatan, terlebih di bawah kekuasaan Erdogan. Kedua negara itu sudah menyepakati kerja sama perdagangan bebas atau dalam bahasa asingnya dikenal dengan sitilah free trade agreement (FTA) yang ditandatangani pada 14 Maret 1996 di Yerussalem dan mulai berlaku pada tangga 1 Mei 1997.

Dengan demikian, adanya FTA antara Turki dan Israel, tarif dan hambatan non-tarif dihilangkan dalam perdagangan antara kedua belah pihak. Perjanjian tersebut juga mencakup berbagai bidang terkait perdagangan perpajakan internal, neraca pembayaran, pengadaan pemerintah, bantuan negara, hak kekayaan intelektual, anti-dumping, tindakan pengamanan, dan aturan negara asal, dll.

Dikutip dari data Trading Economics yang bersumber dari Turkish Statistical Institute (TSI), sepanjang Maret 2021 ternyata nilai ekspor Turki ke Israel mencapai sebesar 495,58 juta dollar AS atau meningkat dari ekspor pada Februari 2021 lalu yakni sebesar 432,79 juta dollar AS. Sementara pada Januari 2021, ekspor Turki ke Israel tercatat sebesar 393,13 juta dollar AS. Tren ekspor impor kedua negara selama ini cenderung terus mengalami peningkatan. Dari hubungan diplomatik antara Turki dan Israel, masihkah kita percaya bahwa Erdogan ingin membantu Palestina? Tentu saja tidak!

Pidato Erdogan yang mengajak negara Islam dunia untuk membantu Palestina pada beberapa hari lalu hanyalah sebuah pencitraan semata. Mengapa dikatakan hanya pencitraan? Karena tidak mungkin Erdogan membantu Palestina dan membantai Israel. Seperti yang telah diulas di atas, Turki telah lama memiliki hubungan dagang dengan Israel. Maka ketika Turki membantu Palestina yang merupakan musuh bebuyutan Israel, berarti ia sama halnya ingin menghancurkan hubungan diplomatik yang sudah lama terjalin. Dan Erdogan tidak akan berani melakukan itu, karena akan berimplikasi pada kerugian besar.

Setelah kita mengetahui hubungan diplomatik antara Turki dan Israel, maka secara otomatis kita dapat menilai bahwa Turki segerbong dengan Israel. Kekuatan kapitalisme Turki berimplikasi pada meningkatnya potensi militerisme Israel. Maka dapat ditelaah, bahwa Turki memiliki peranan yang signifikan dalam penjajahan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina. Oleh karena itu, berhentilah mengagumi Erdogan dan bergantung kepadanya. Sebab, sejauh ini belum ada bukti konkret yang diberikan oleh Erdogan atas kata-katanya yang penuh dengan manufer politik. Perkataan pembelaan Erdogan terhadap Palestina sangatlah nyata, tetapi sayang tindakannya masih ghaib. Merujuk dari hal itu, Turki adalah kekuatan yang bersemayam di balik agresifnya Isarel melakukan penjajahan.


Penulis: Firmansyah (Kabid PTKP HMI Budaya Maktim)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hardiknas - Pendidikan Tinggi di Bawah Kuasa Kapitalisme

HMI Komisariat Ilmu Budaya Maktim Sukses Gelar Basic Training IV